Case Study : LAAL
Kasus yang akan dibahas adalah kasus Latin American Air Lines (LAAL). Sebuah perusahaan penerbangan yang berpusat di Kolombia. Mr. Cruz yang merupakan seorang supervisor yang mendapatkan promosi teratur selama tiga tahun berturut-turut. Di sebuah perusahaan multi-kultural, LAAL Kolombia dipimpin oleh seseorang yang menghargai perbedaan budaya sehingga kinerja LAAL terus meningkat.
LAAL menginginkan budaya kerja yang lebih baik dan setiap pegawai dituntut untuk memberikan performa terbaiknya. Bergamo sebagai kepala sumber daya manusia pusat lalu memimpin LAAL dengan proyek Employee Opinion Survey (EOS) serta program pengembangan kepemimpinan 4 tingkat. Proyek-proyek ini diperkirakan akan meningkatkan perkembangan LAAL sampai 15 persen dalam 5 tahun.
Namun seiring dengan perkembangan perusahaan, budaya-budaya individu semakin beragam sehingga perusahaan terlihat menjadi lebih tersentralisasi, disinilah proyek pelatihan-pelatihan dari divisi sumber daya manusia menjadi sebuah alat untuk mempertahankan budaya perusahaan yang menginginkan kinerja pegawai yang tinggi.
Bagian sumber daya manusia juga membuat proyek website yang membuat para pegawai bisa mengakses data-data seperti informasi personal. Website tersebut berhasil menghemat pengeluaran LAAL sebanyak 500.000 USD setahun akibat biaya mencetak dokumen.
Dari segi project and change management menurut Harrington, disini bagian-bagian yang membawa perubahan dibagi menjadi:
1. Advocate
Pihak yang menginginkan perubahan adalah para manajer yang ingin LAAL tetap mempertahankan keuntungan kompetitif dengan mencoba cara-cara baru untuk mengevaluasi kinerja.
2. Initiating Sponsor
Pihak yang menyetujui dan mendukung perubahan adalah para direksi yang mempunyai visi yang sama dengan para manajer.
3. Sustaining Sponsor
Pihak yang menjaga agar perubahan tetap berjalan adalah bagian sumber daya manusia yang terus menjaga agar perubahan yang diinginkan berlangsung dengan baik.
4. Target
Pihak yang dituju dengan perubahan tersebut adalah para pegawai.
Perubahan juga dilakukan oleh Cruz di dalam divisinya (customer service) dengan mengevaluasi kinerja bawahannya melalui Business Process Adjustment Tool (BPAT) yang menganalisa proses bisnis dari 4 perspektif berbeda:
1. Kebijakan dan Kemampuan Leadership.
2. Kebutuhan pelanggan.
3. Praktek yang dilakukan pegawai di lapangan.
4. Perspektif dari supplier.
Data-data hasil BPAT ini kemudian dipakai untuk menentukan langkah dan arah kebijakan yang akan diambil oleh perusahaan. Penghematan dan efisiensi lebih lanjut juga berhasil diraih, sehingga para direksi dan manajemen mulai berfokus pada peningkatan performa proses bisnis (business process improvement).
Perubahan dan peningkatan proses bisnis inilah yang diinginkan oleh manajemen LAAL di kantor cabangnya di Cile. Cile merupakan ceruk bisnis yang masih harus terus digali oleh LAAL namun LAAL Cile sepertinya tidak memberikan performa terbaiknya dan oleh sebab itu orang terbaik di Kolombia yaitu Cruz dikirim untuk menjadi manajer operasional di Cile.
Proyek EOS yang dijalankan oleh manajemen LAAL pusat ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya di Cile. Tingkat turnover pegawai sangat tinggi serta pegawai banyak yang tidak merasa bahagia bekerja dengan LAAL Cile. Tingkat suplai barang dari supplier pun kurang baik sehingga LAAL Cile lebih sering kehabisan barang terlebih dahulu sebelum supply baru tiba.
Salah satu penyebab kegagalan project management di Chile adalah Country Manager LAAL yang tidak menghargai keberagaman kultur dan hanya berfokus kepada uang. Proyek EOS yang sedang digalakan oleh direksi pun hanya dipandang sebelah mata. Sumber daya manusia memang menjadi suatu kendala dalam project change management, karena belum tentu setiap orang mau berubah dan mengikuti sistem. Banyak yang hanya setuju karena diharuskan namun dalam prakteknya belum tentu dilakukan.
Kesimpulan yang bisa didapatkan dari studi kasus LAAL adalah bagaimana seseorang yang sudah berada di posisi tertinggi bisa saja menjadi penolak change management dan lebih suka memakai cara-cara lama yang sesuai dengan kultur yang dipercayainya. Change Management sendiri berguna untuk meningkatkan proses bisnis dengan adanya komunikasi yang lebih baik antara manajemen dan para pegawai.
Tanpa kerjasama dari seluruh pihak yang ada di organisasi dan penghargaan terhadap kultur individual tentu saja peningkatan proses bisnis akan susah dicapai. Tidak hanya itu dari pegawai perusahaan sendiri tentu saja harus mengetahui dan meresapi budaya, nilai, dan etos perusahaan supaya bisa bekerja dengan lebih baik dan tidak merasa terpaksa.
Dengan budaya perusahaan yang tersosialisasi dan tercermin dalam setiap manajer dan direksi, maka para pegawai pun tidak akan merasa terpaksa dalam menjalankan tugas-tugas mereka sesuai dengan budaya perusahaan.
Taken from:
Preziosi, Robert C. Retaining Talent At LAAL: A Case Study. Journal of Business Case Studies : Nova Southeastern University 2005.